Itikad Baik Jangan Dipolitisasi: Bonus Hari Raya Adalah Apresiasi, Bukan Hak yang Harus Dipaksakan

Selasa 18-03-2025,10:21 WIB
Reporter : Eneng Suryani
Editor : Eneng Suryani

BACA JUGA:Aksi Massa Ojol Tuntut THR Tuai Dukungan dan Hujatan

BACA JUGA:Aksi Solidaritas, Polresta Bandung Bersama Ojol Bantu Korban Kekerasan di Cileunyi

 

Kami mencatat bahwa beberapa aplikator telah memberikan tanggapan terkait imbauan ini dengan mempertimbangkan aspek operasional dan model kemitraan yang diterapkan. Sebagian aplikator menyatakan akan mengevaluasi mekanisme pemberian insentif tambahan atau bentuk dukungan lain yang dapat membantu mitra, namun ada juga yang menyatakan ketidakmampuan finansial untuk menuruti kebijakan ini.

Modantara menegaskan bahwa surat edaran maupun imbauan tersebut bukanlah regulasi yang mengikat secara hukum. Pemberian BHR tidak dapat dipaksakan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan usaha. Pemerintah tentunya tidak dapat memaksa perusahaan swasta yang merugi untuk memberikan bonus karena jika perusahaan tersebut pailit nantinya Pemerintah pun tidak dapat memberikan suntikan bantuan. Jika pun memberi bonus, itu sudah merupakan suatu itikad baik yang perlu diapresiasi berapapun angkanya. Maka setiap perusahaan berhak menentukan kriteria produktivitas dalam mempertimbangkan pemberian bonus ini.

Modantara memahami sebagai negara demokrasi, kebebasan penyampaian pendapat diakui sebagai hak dasar bernegara, namun Modantara menegaskan perlunya kebijaksanaan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dalam mendengar dan memilah masukan yang disampaikan apalagi dalam pembuatan kebijakan yang berdampak pada hajat hidup masyarakat. Banyaknya pihak yang mengatasnamakan serikat dan perwakilan pengemudi perlu dicermati dengan seksama keabsahan suaranya dalam merepresentasikan mitra pengemudi aktif.

Jika kebijakan hanya didasarkan untuk semata-mata memuaskan seruan dari pihak-pihak yang tidak berada di dalam ekosistem ataupun pada pihak yang tidak merepresentasikan mayoritas

mitra pengemudi tentulah dapat berakibat fatal. Sebagai contoh, seruan suatu serikat bahwa BHR harus diberikan kepada seluruh mitra pengemudi bahkan bagi yang sudah putus mitra, menunjukkan ketidakpahaman dan ketidakpedulian terhadap keberlangsungan industri ini. Dimanakah logika mitra yang putus kemitraan karena melakukan tindakan pelanggaran pidana, perdata, asusila seharusnya mendapatkan BHR? Dimana ada perusahaan mampu memberikan Bonus kepada mitranya yang sudah bertahun-tahun tidak berusaha kemudian aktif sementara untuk hanya mendapatkan 1-2 order di bulan ini? Apakah ini adil bagi mitra lain yang sudah bekerja sangat keras? Masukan-masukan seperti ini justru mendorong dan memberikan insentif perilaku- perilaku yang tidak bertanggung jawab yang mencoba memanfaatkan itikad baik dari Platform dan Pemerintah di momen yang fitri ini. Jika terus dilanjutkan, maka dapat merugikan finansial perusahaan dan dapat membahayakan masyarakat selaku pengguna platform.

Contoh lainnya adalah seruan dan tekanan off-bid massal yang sempat digaungkan oleh kelompok tertentu mengatasnamakan serikat pengemudi online justru memperoleh penolakan dari berbagai komunitas mitra aktif dan juga terbukti dari jumlah yang memenuhi seruan sangatlah sedikit yakni sangatlah jauh dibawah 0,01%. Peran Pemerintah sangatlah penting dalam memberikan atensi dalam porsi yang tepat dan sewajarnya karena jika terlalu gegabah, kondisi- kondisi ini dapat berdampak pada munculnya friksi dengan mitra aktif, platform dan masyarakat, mengganggu stabilitas, serta menurunnya kepercayaan investor terhadap kepastian berusaha di Indonesia karena kebijakan sangatlah mudah diubah.

Lebih jauh, Modantara menyoroti tuntutan agar status mitra diangkat menjadi pekerja tetap adalah narasi yang menyesatkan dan tidak mempertimbangkan realitas industri. Perlu dipahami, menjadi pekerja tidak serta merta hanya memperoleh hak namun juga datang dengan pemenuhan kewajiban dan persyaratan kerja layaknya pekerja industri formal. Hal ini karena kemampuan perusahaan menyerap tenaga kerja akan menjadi sangat terbatas. Jika kebijakan tersebut diterapkan, maka jutaan mitra yang selama ini menikmati fleksibilitas, akan kehilangan sumber pendapatan alternatif mereka. Para ibu tunggal, mahasiswa yang mencari penghasilan tambahan, atau bahkan korban PHK akan kehilangan kesempatan berusaha yang ditawarkan oleh platform.

Jika tetap dipaksakan, maka skenario terburuknya dan sudah ada banyak contoh di negara lain. Di Swiss, jumlah pengemudi Uber Eats turun 67% setelah putusan pengadilan. Di Spanyol, Glovo hanya mempertahankan 17% mitranya, Uber memberhentikan 4.000 mitra, dan Deliveroo keluar dari pasar. Di Inggris, keputusan Mahkamah Agung membuat jumlah pengemudi Uber berkurang

85.000 orang. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan serupa perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati agar tidak membatasi kesempatan kerja bagi jutaan mitra.

Modantara sangat berharap dalam membuat kebijakan ekonomi gig, Pemerintah mengedepankan azas kebermanfaatan serta bijaksana dengan mendasarkan pada data yang objektif dan kajian dampak yang mumpuni, serta mendengar berbagai perspektif melalui dialog dari seluruh pemangku kepentingan tidak hanya dengan segelintir pihak. Sebagai perbandingan di Singapura, konsultasi dan dialog, bukan sekadar survey, dilakukan dengan setidaknya 6% dari total mitra

untuk memastikan keterwakilan. Selain itu, diskusi dan dialog juga perlu dilakukan dengan seluruh pemangku kepentingan pada ekosistem ini seperti mitra umkm, pengguna, serta platform yang benar-benar memahami industri dan memiliki peran dalam menjaga keberlangsungan ekosistem.

Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara, menyampaikan, “Kami menghargai setiap upaya untuk mendukung mitra. Namun, kebijakan juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan industri dan fleksibilitas yang menjadi dasar ekosistem ini. Memaksakan kebijakan yang tidak realistis justru berisiko menciptakan masalah lebih besar, termasuk meningkatnya angka pengangguran dan hilangnya peluang ekonomi bagi jutaan masyarakat yang mengandalkan platform digital sebagai sumber penghasilan alternatif.”

Ke depannya, pemerintah perlu menggandeng pihak-pihak yang memiliki relevansi dan kredibel dengan kebijakan yang akan diambil, serta benar-benar merupakan bagian dari ekosistem. Dengan demikian, kebijakan yang diterapkan dapat diterima oleh semua pihak dan tidak menimbulkan polemik yang berpotensi merugikan ekosistem industri digital. Keputusan yang tepat akan memberikan keseimbangan antara dukungan untuk mitra dan keberlanjutan industri, sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Tags : #skenario #kebijakan #bonus #asosiasi mobilitas
Kategori :

Terkait

Terpopuler

Terkini