Ketika Anda datang dengan saran atau kritik, mereka tidak melihatnya sebagai sesuatu yang membantu. Kritik Anda justru dianggap sebagai bukti tambahan bahwa dunia ini terus-menerus menyalahkan mereka tanpa memberikan solusi nyata.
Sistem sosial yang tidak mendukung ini membuat mereka tidak percaya pada perubahan, pada pemerintah, pada lembaga sosial, bahkan pada orang-orang yang datang dengan niat baik. Pola pikir ini membuat mereka mudah marah, mudah curiga, dan sulit menerima pandangan baru.
Jadi, jika kita ingin membahas mengapa mereka mudah tersinggung, kita tidak bisa lepas dari peran sistem sosial yang sebenarnya bisa diperbaiki. Masalahnya adalah, siapa yang mau mulai memperbaikinya?
4. Efek Harga Diri yang Rapuh (Inferioritas)
Ketika seseorang tumbuh dalam kondisi yang serba kekurangan, mereka seringkali membawa rasa rendah diri atau inferioritas yang mendalam. Rasa ini muncul karena mereka sadar bahwa secara sosial dan ekonomi, mereka berada di bawah banyak orang.
Namun, ironisnya, untuk menyembunyikan perasaan tersebut, mereka membangun tameng berupa ego yang rapuh. Misalnya, orang yang hidup dalam kemiskinan seringkali memproyeksikan diri mereka sebagai individu yang kuat dan mandiri.
Mereka tidak ingin terlihat lemah, apalagi dikasihani. Ketika ada kritik, bahkan yang niatnya baik, tameng ego ini langsung aktif. Mereka merasa tersinggung karena kritik tersebut mengancam harga diri mereka.
Sebenarnya, ini adalah mekanisme pertahanan psikologis. Mereka menolak kritik bukan karena tidak ingin belajar, tetapi karena kritik tersebut membuat mereka merasa kecil. Mereka takut jika mereka mengakui kesalahan, hal itu akan menguatkan stereotip negatif tentang mereka sebagai orang yang tidak mampu atau bodoh.
Cerita seperti ini tidak hanya terjadi pada individu, tetapi juga pada banyak komunitas miskin, di mana harga diri kolektif ini menjadi hal yang normal. Jika salah satu dari mereka dikritik, mereka akan melihatnya sebagai kritik terhadap seluruh komunitas mereka. Inilah mengapa reaksi mereka bisa sangat emosional dan besar.
Coba pikirkan, berapa banyak orang miskin yang memiliki role model atau panutan di sekitar mereka? Role model di sini bukan hanya figur terkenal, tetapi seseorang yang benar-benar bisa memberikan inspirasi nyata untuk keluar dari kemiskinan.
Sayangnya, di banyak lingkungan miskin, role model positif ini hampir tidak ada. Yang sering mereka lihat justru kebalikannya: orang yang mencari jalan pintas menuju sukses, entah itu melalui kejahatan, korupsi kecil-kecilan, atau manipulasi.
Mereka tumbuh dengan pola pikir bahwa cara bertahan hidup adalah dengan menggunakan trik, bukan usaha jangka panjang. Hal ini membuat mereka skeptis terhadap orang yang berbicara tentang kerja keras atau perbaikan diri.
BACA JUGA:Fenomena Eksploitasi Orang Miskin Kian Meresahkan, Ternyata Ini 3 Penyebab Utamanya
BACA JUGA:Tukang Parkir Liar Bisa Raup Penghasilan Rp100 Juta per Bulan, Mereka Makin Kaya Kamu jadi Miskin
Ketiadaan role model positif ini juga membuat mereka tidak tahu bagaimana cara menghadapi kritik. Jika mereka tumbuh di lingkungan di mana semua orang mudah tersinggung, mereka akan belajar bahwa marah adalah cara paling efektif untuk melindungi diri mereka.
Mereka tidak pernah diajarkan bahwa menerima kritik adalah bagian dari proses belajar. Solusinya, kita membutuhkan lebih banyak representasi positif di media, di lingkungan kerja, bahkan di komunitas kecil.
Orang miskin perlu melihat contoh nyata bahwa ada jalan keluar dari situasi mereka. Jika mereka memiliki role model yang mengajarkan bagaimana cara menerima kritik dan belajar dari kesalahan, pola pikir mereka bisa perlahan berubah.