RADAR JABAR - Australia sering dianggap sebagai salah satu negara yang menonjol dalam berbagai aspek. Namun ada fakta menarik mengenai kehidupan di Australia yang tidak selamanya indah.
Negara ini kerap disebut sebagai salah satu yang paling layak huni di dunia, dengan kota-kota seperti Melbourne, Sydney, dan Adelaide yang sering masuk dalam daftar kota paling layak huni berdasarkan kualitas hidup, infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Kota Melbourne, misalnya, sering menduduki peringkat teratas dalam Indeks Layak Huni Global selama beberapa tahun. Sebagai salah satu negara paling multikultural di dunia, Australia menjadi rumah bagi lebih dari 200 kelompok etnis dan lebih dari 300 bahasa yang digunakan di berbagai komunitas.
Menariknya, lebih dari 25% penduduknya lahir di luar negeri. Tingginya jumlah penduduk Australia yang lahir di luar negeri disebabkan oleh beberapa faktor utama, seperti kebijakan imigrasi.
BACA JUGA:Daftar 26 Pemain Timnas Indonesia untuk Lawan Arab Saudi dan Australia: Akhirnya Ada Maarten Paes
BACA JUGA:Lonjakan Kasus Mpox di Australia: 35 Kasus Baru Dilaporkan dalam 15 Hari Terakhir
Setelah Perang Dunia Kedua, pemerintah Australia menjalankan program migrasi besar-besaran yang dikenal sebagai "Populate or Perish," yang mendorong kedatangan imigran dari Eropa, dan kemudian dari seluruh dunia. Berikut kami akan memaparkan 10 fakta menarik tentang kehidupan di Australia sebelum kamu memutuskan untuk tinggal disana.
1. Kebijakan Imigrasi yang Ketat
Aboriginal Australians dan Torres Strait Islanders adalah penduduk asli benua Australia yang diyakini telah tinggal di sana selama lebih dari 65.000 tahun. Namun, mayoritas penduduk di negara ini berasal dari orang kulit putih Eropa.
Dominasi ini terutama disebabkan oleh sejarah kolonisasi dan migrasi yang panjang. Australia adalah bekas jajahan Inggris, dan pada tahun 1788, Inggris mendirikan pemukiman pertamanya di Botany Bay, yang sekarang menjadi bagian dari Sydney.
Selama abad ke-19, gelombang migrasi Eropa, terutama dari Inggris, Irlandia, Skotlandia, dan Wales, mulai berdatangan ke Australia sebagai bagian dari program pemukiman dan hukuman penjara.
Dari awal hingga pertengahan abad ke-20, Australia menerapkan kebijakan imigrasi yang membatasi imigrasi non-Eropa, terutama dari Asia dan Afrika, yang dikenal sebagai "White Australia Policy."
Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga Australia sebagai negara dengan populasi mayoritas kulit putih. Kebijakan ini mulai dilonggarkan dan dihapuskan pada tahun 1970-an, namun dampaknya terhadap komposisi demografis masih terasa hingga kini.
Selain itu, kebijakan imigrasi Australia mendukung masuknya pekerja terampil dari luar negeri. Program ini dirancang untuk menarik individu yang dapat mengisi kekosongan pekerjaan di berbagai sektor, seperti teknologi, kesehatan, dan konstruksi. Namun, negara ini juga memiliki kebijakan imigrasi yang sangat ketat, terutama dalam hal pencari suaka dan pengungsi.
Program Operation Sovereign Borders adalah contoh dari kebijakan keras yang diterapkan Australia untuk mencegah imigrasi ilegal melalui laut. Kebijakan ini mengharuskan para pencari suaka yang mencoba memasuki Australia melalui laut untuk ditahan di pusat-pusat penahanan lepas pantai, seperti di Pulau Manus dan Nauru.
Kondisi di pusat-pusat penahanan ini sering kali dianggap melanggar hak asasi manusia, dengan laporan tentang kekerasan, pelecehan, dan kondisi hidup yang tidak manusiawi. Akibatnya, Australia menerima kritik internasional atas kebijakan kerasnya terhadap pencari suaka.