Peran Media dalam Membentuk Dinasti Politik

Kamis 12-09-2024,17:55 WIB
Reporter : Wanda Novi
Editor : Wanda Novi

RADARA JABAR - Setelah tiga kali pemilihan presiden, 15 tahun menanti, akhirnya Prabowo berhasil meraih kemenangan. Namun, kemenangan Prabowo ini hanyalah bagian dari kisah kemenangan yang lebih besar, yaitu keberhasilan Jokowi dalam membangun dinasti politik dengan pengaruh besar di Indonesia.

Dinasti ini dibangun dengan sangat cepat; Jokowi baru bergabung sebagai kader PDIP pada tahun 2004, dan 10 tahun kemudian ia menjadi presiden. Selama 10 tahun menjabat sebagai presiden, ia berhasil menempatkan anak, keponakan, dan menantunya di berbagai posisi penting pemerintahan, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Jokowi adalah salah satu contoh paling inspiratif dari politik dinasti di Indonesia, meskipun bukan satu-satunya. Dalam kajian Yoes Kenawas (2020), tercatat ada 202 politisi dinasti yang maju dalam Pilkada 2015 hingga 2018, dan 58% atau 117 di antaranya berhasil menang.

Meskipun angka ini belum terlalu signifikan, banyak yang meyakini bahwa dinasti politik adalah tren yang akan terus meningkat. Mungkin banyak dari Anda merasa frustrasi, mengapa praktik politik feodal semacam ini masih terjadi di abad ke-21 di Indonesia, negara demokrasi terbesar di dunia.

BACA JUGA:Kronologi Lengkap Peringatan Darurat di Indonesia, Ancaman Keruntuhan Rakyat Akibat Politik Dinasti

BACA JUGA:4 Sisi Gelap Indonesia yang Buat Rakyatnya Geleng-Geleng Kepala

Kenyataannya, hal tersebut bisa terjadi. Studi di berbagai negara demokrasi menunjukkan bahwa hubungan darah seringkali lebih kuat daripada sistem politik. Pembentukan dinasti politik dapat dicapai dengan memanfaatkan institusi demokrasi.

Peran Media dalam Politik Dinasti

Media menjadi salah satu instrumen penting dalam pembentukan dinasti politik. Kali ini, kita akan membahas bagaimana dan mengapa media, yang seharusnya menjadi "anjing penjaga" demokrasi, justru mengambil peran signifikan dalam menciptakan dinasti politik yang merusak kualitas demokrasi.

Politik dinasti dibangun melalui terciptanya politisi yang memiliki hubungan darah atau ikatan pernikahan dengan individu yang memegang jabatan politik.

Selain dinasti Jokowi, kita juga melihat Pingka Hapsari, putri sulung Puan Maharani, yang unggul dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) di Jawa Tengah, atau Titiek Soeharto, mantan istri Prabowo dan anak dari mantan Presiden Soeharto, yang meraih kemenangan di Pileg Yogyakarta.

Hubungan keluarga ini sangat menguntungkan bagi karir politik seseorang, setidaknya karena tiga alasan. Pertama, lahir di keluarga politik membuat seseorang mengalami sosialisasi dan pendidikan politik yang lebih intens, sehingga lebih memahami politik dan kebijakan publik dibandingkan rakyat biasa.

Kedua, mereka memiliki akses terhadap koneksi dan sumber daya yang hanya bisa diimpikan oleh warga biasa. Ketiga, mereka memperoleh keuntungan dari "name branding" atau pengenalan nama yang melekat pada keluarga mereka.

BACA JUGA:Capres Independent Jadi Jawaban untuk Memutus Politik Dinasti dan Kekisruhan Penegakan Konstitusi

BACA JUGA:Menkominfo Budi Arie Pasang Badan Bela Gibran dan Kaesang, Netizen: Akan Ada yang Ngaku Pemilik Fufufafa

Diskusi kita akan lebih berfokus pada "branding" keluarga ini karena sangat berkaitan dengan peran media dalam proses pemilu yang demokratis. Media memiliki peran yang sangat besar dalam upaya demokratisasi politik Indonesia sejak awal reformasi.

Kategori :

Terkait