BACA JUGA:7 Rekomendasi HP Kamera Terbaik untuk Streaming Tiktok
Yang sebelumnya hanya membandingkan diri dengan tetangga, kini membandingkan diri dengan orang yang tinggal di pulau yang berbeda, bahkan dengan orang yang tidak kita kenal dan tidak tahu kehidupan aslinya.
Selain itu, terdapat teori yang disebut "Highlight Reel Effect" yang menjelaskan bahwa hal-hal yang diunggah di media sosial hampir pasti hanya merupakan momen-momen terbaik seseorang. Ini menciptakan kesan kehidupan yang tampak sempurna dan tidak realistis.
Akibatnya, muncul orang-orang yang memiliki standar berlebihan terhadap realitas diri mereka sendiri. Misalnya, ada beberapa pria atau wanita yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap pasangan mereka namun lupa pada realitas kehidupan mereka sendiri.
Memiliki standar tinggi tidak ada salahnya, tetapi jika hanya memiliki standar tinggi tanpa berusaha memantaskan diri untuk mencapai standar tersebut, maka hal ini dapat disebut sebagai mental benalu atau keinginan untuk hanya menikmati tanpa usaha.
Ini tidak realistis dan hanya akan membuat seseorang merasa depresi karena hanya fokus berharap tanpa berusaha.
Belum lagi adanya istilah "Fear of Missing Out" (FOMO) yang membuat kita merasa tidak ingin ketinggalan tren atau pengalaman yang telah dilakukan orang lain. Akibatnya, semakin banyak orang yang ingin memiliki standar hidup seperti yang mereka lihat di media sosial.
Standar yang terbentuk akibat media sosial tidak main-main. Tidak mengherankan jika sejak adanya media sosial, jumlah orang yang mengalami depresi semakin meningkat.
Banyak orang yang sebenarnya sudah mengalami depresi karena media sosial ini, tetapi mereka tidak menyadarinya, dan mungkin saja ini terjadi pada diri Anda sendiri. Ketika kita menggulir TikTok atau Instagram dan melihat postingan teman atau orang lain yang sedang berlibur atau memposting pencapaian mereka, tanpa disadari, teori Leon Festinger tentang Social Comparison Theory terjadi pada kita.
Secara tidak sadar, kita menetapkan standar kebahagiaan berlibur atau pencapaian berdasarkan apa yang kita lihat di media sosial. Akibatnya, kita merasa iri atau ingin memiliki pencapaian serupa dan merasa insecure jika kita belum dapat liburan atau mencapai hal yang sama.
Padahal, kita sering lupa bahwa banyak orang di luar sana yang ingin berada di posisi kita saat ini. Faktanya, lebih mudah membandingkan diri dengan orang yang memiliki lebih banyak daripada mensyukuri posisi kita saat ini.
Inilah mengapa banyak orang yang mengalami depresi akibat media sosial, karena kemudahan media sosial membuat orang meninggikan standar kebahagiaan dan lupa ada banyak orang yang ingin berada di posisi mereka sekarang.
Pernahkah Anda merasakan hal ini, atau mungkin Anda tidak menyadari bahwa media sosial membuat Anda sulit merasa bahagia belakangan ini?
Dari sini, Anda mungkin sudah memahami sisi buruk media sosial, khususnya TikTok, yang dapat memengaruhi hidup seseorang secara signifikan melalui FYP (For You Page). Cobalah bandingkan kehidupan Anda sebelum dan sesudah adanya media sosial. Apakah Anda merasa lebih bahagia sebelum media sosial hadir atau setelahnya?
Menurut data World Happiness Report tahun 2019, terdapat penurunan kebahagiaan yang terjadi akibat media sosial. Studi dari American Journal of Epidemiology tahun 2017 menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan Facebook atau media sosial dikaitkan dengan penurunan kesehatan mental dan kebahagiaan.
Pengguna Facebook yang lebih sering melaporkan tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah. Jika Anda merasa hidup belakangan ini kosong atau sering merasa sedih, coba periksa berapa lama Anda menghabiskan waktu di media sosial setiap hari.