Sejarah Pengharaman Babi Menurut Ilmu Antropologi

Selasa 16-01-2024,13:30 WIB
Reporter : Wanda Novi
Editor : Wanda Novi

Di sisi lain, rakyat miskin dan jelata menjadi konsumen utama daging babi. Klasifikasi makanan ini berdampak pada pemeliharaan babi yang bebas pajak, berbeda dengan pemeliharaan sapi, domba, dan kambing.

Budaya

Pandangan negatif terhadap babi membuatnya dianggap sebagai binatang yang tidak suci. Herodotus bahkan mencatat bahwa orang yang tanpa sengaja menyentuh babi dianggap begitu tidak suci sehingga mereka akan segera terjun ke Sungai Nil tanpa melepas baju sama sekali untuk membersihkan diri.

Sejumlah kota di Mesopotamia, Filistin, dan Mesir melarang babi dan anjing memasuki kuil karena dianggap bukan binatang yang bersih. Bahkan, terdapat catatan tentang bagaimana orang membatalkan ibadah kurban setelah melihat babi menginjakkan kaki mereka di kuil.

Meskipun larangan ini tidak mutlak, pada masa Amenhotep III terdapat catatan mengenai pemberian 1000 babi dan 1000 anak babi ke kuil Ptah di Memphis. Seti I juga memperbolehkan babi dipelihara di kuil Osiris di Abydos. Babi tetap digunakan sebagai binatang kurban setelah melalui proses ritual yang rumit dan ketat, terutama dalam konteks ritual kesuburan dan magis.

BACA JUGA:Apa Kamu Tahu, Binatang Apa Aja Sih Yang Termasuk Ke Dalam Binatang Omnivora?

Di beberapa tempat, babi bahkan digunakan sebagai pengganti pengorbanan manusia yang masih marak pada masa itu. Dalam buku "The Egyptian Book of the Dead", bangsa Mesir Set digambarkan dalam bentuk babi hitam saat berkonfrontasi dengan Horus untuk memperebutkan dominasi atas Mesir.

Ra, Tuhan utama Mesir, menyatakan bahwa babi dibenci oleh Horus, yang merupakan Tuhan kekacauan yang membunuh Osiris dan berusaha merebut tahta kerajaan Mesir. Untuk menghindari kemungkinan kekacauan yang dapat disebabkan oleh Set, ritual pengorbanan babi dilakukan di tepi Sungai Nil, di mana babi dikorbankan secara brutal dan sisanya disebar ke sungai.

Ekologi dan Domestikasi Ayam

Babi mendapatkan posisi rendah di kultur masyarakat Timur Tengah, meskipun terpinggirkan, tetap bertahan hingga masa Islam. Faktor terakhir yang memberikan dampak besar terhadap keberadaan babi di wilayah ini adalah ekologi dan domestikasi ayam.

Menurut Marvin Harris, salah satu penyebab larangan babi dalam Yudaisme adalah faktor ekologis. Keterbatasan ekologi dan geografis ini semakin diperparah dengan diperkenalkannya domestikasi ayam sekitar Milenium pertama sebelum masehi. Hal ini membuat pemeliharaan babi menjadi tidak prospektif secara ekonomi di Timur Tengah.

Baik babi maupun ayam dipelihara di pekarangan rumah dan keduanya merupakan binatang omnivora yang memakan sisa-sisa makanan manusia. Namun, dalam kondisi ekologi yang buruk, masyarakat setempat lebih memilih ayam karena pertimbangan utama, yaitu ayam lebih portabel dan lebih mudah beradaptasi dengan kehidupan semi pastoral. Selain itu, ayam juga menghasilkan produk sampingan berupa telur, yang merupakan sumber protein yang baik.

Babi dalam Bible dan Quran

Larangan konsumsi babi dan binatang lain dalam Yudaisme dijabarkan secara rinci dalam Leviticus 11:7, yang menyatakan, "Jangan makan babi; binatang itu haram karena, walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak." Dalam Quran, konsep makanan terlarang jauh lebih sederhana, dijelaskan dalam Al-Baqarah ayat 173, "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah."

BACA JUGA:4 Hewan yang Mudah Dipelihara dan Cocok untuk Pemula

Perbedaan terlihat ketika membandingkan dua ayat tersebut. Larangan konsumsi daging babi dalam Quran tidak diungkapkan dalam satu rumusan sebagaimana dalam Bible. Ini menimbulkan pertanyaan mengapa konsep kukunya terbelah dan memamah biak tidak muncul dalam Quran.

Salah satu alasan yang dapat ditarik adalah bahwa konsep dalam Bible tidak cukup kuat untuk menyatakan suatu hewan sebagai tidak bersih, sementara dalam Yudaisme, diperlukan setidaknya dua kriteria agar binatang dianggap Kosher, yaitu memiliki kuku terbelah dan memamah biak.

Sebaliknya, dalam Quran, satu kriteria saja sudah cukup untuk menyatakan binatang tersebut tidak suci. Keterbatasan konsep ini menyebabkan derajat ketidak suciannya babi setara dengan unta dalam Bible.

Dari sudut pandang orang Arab, yang perekonomiannya sangat bergantung pada keberadaan unta, larangan terhadap daging unta dan susunya menjadi suatu ketidakberesan yang sulit diterima. Bagaimana mungkin bangsa Arab tidak dapat mengonsumsi daging unta dan meminum susunya? Untuk mengatasi pertentangan logis ini, Quran memberikan solusi yang sangat tepat dengan tidak mencantumkan kriteria Kosher sebagai alasan halal dan haram.

Kategori :

Terkait