"Hari ini menjadi bukti, we walk the talk bahwa komitmen ini kami wujudkan dalam bentuk nyata. Ini tidak hanya sekadar Green Hydrogen Plant, ini akan menjadi tonggak terbentuknya Supply Chain Green Hydrogen di Indonesia dan PLN menjadi pionirnya," ungkap Darmawan.
GHP buatan PLN diproduksi menggunakan energi dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di lokasi pembangkit. Hidrogen hijau ini tidak hanya berasal dari PLTS yang terpasang, tetapi juga menggunakan Renewable Energy Certificate (REC) dari berbagai pembangkit EBT di Indonesia.
Dengan pengoperasian 21 unit GHP, produksi hidrogen hijau mencapai hampir 200 ton per tahun, meningkat dari jumlah sebelumnya yang hanya 51 ton per tahun.
Sebanyak 75 ton dari hasil produksi tersebut dialokasikan untuk operasional pembangkit, terutama untuk pendinginan generator, sementara sisanya, yaitu 124 ton, dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, termasuk penggunaan pada kendaraan.
“Lewat GHP ini, kami membangun bagaimana transisi sektor transportasi ke low carbon transport ini berjalan dengan baik. Tentu saja kalau kita berbicara transportasi, terdapat dua mazhab. Satu mengenai mobil listrik yang berbasis pada baterai. Kendaraan listrik sudah kita bangun ekosistemnya. Kemudian ada mahzab lain yaitu berbasis pada hidrogen. Ini perlu ada rantai pasok yang khusus, ini perlu ada green hydrogen,” tutur Darmawan.
Dengan rata-rata konsumsi hidrogen kendaraan 0,8 kg per 100 kilometer, maka 124 ton green hydrogen yang diproduksi bisa dipakai untuk 424 mobil per tahun yang bergerak 100 kilometer dalam sehari.
Angka tersebut bisa menurunkan emisi karbon hingga 3,72 juta kg CO2 dan mengurangi impor BBM sebesar 1,55 juta liter per tahun, mengubah energi impor menjadi energi domestik.
Ke depan, PLN tidak hanya menghadirkan GHP saja namun juga membuat Hydrogen Refueling Station (HRS) atau stasiun pengisian hidrogen dan juga pengoperasian Fuel Cell Generator yang berbahan bakar green hydrogen.