RADAR JABAR – Presenter Daniel Mananta berbicara tentang pengalamannya menemukan gerakan LGBT di sebuah sekolah internasional wilayah Jabodetabek yang memiliki WC gender netral.
Hal itu ia ungkapkan saat berbincang bersama ulama Muhammad Quraish Shihab di podcast-nya. Ia mengungkapkan bahwa awalnya sedang mencari sekolah untuk anaknya yang berusia 10 tahun.
Sekolah di Indonesia yang berstatus internasional tersebut ternyata menerapkan apa yang disebut sebagai "woke agenda."
Konsep woke agenda ini mengacu pada gerakan yang bertujuan untuk menghargai dan menghormati perasaan setiap individu siswa, sehingga termasuk penerapan WC gender netral di sekolah tersebut.
BACA JUGA:Hutan Kota Cawang Jakarta jadi Sarang LGBT, Pengawasan Diperketat!
"Kemarin kita bawa ke sebuah sekolah di Indonesia, kawasan Jabodetabek. Mungkin karena ini sekolahnya, sekolah yang sudah levelnya internasional. Jadi mereka sangat terbuka sama yang namanya woke agenda," ujar Daniel.
Namun maksud ‘woke agenda’ yang diterapkan sekolah tersebut mengacu pada penerimaan identitas gender berdasarkan keinginan setipa individu.
"Agenda ini adalah sebuah pergerakan atau agenda-agenda untuk menormalisasikan seperti you are what you feel. Identitas lo adalah adalah apa yang sedang lu rasakan, gitu. Kalau misalnya lu merasa sebagai seorang perempuan, ya berarti identitas lo adalah seorang perempuan. Explore your feeling, gitu," sambungnya.
Kemudian, Daniel Mananta merasa terkejut ketika menemukan bahwa di dalam sekolah tersebut terdapat tiga toilet yang disediakan.
BACA JUGA:Bupati Bandung Sebut Rancangan Perda Anti-LGBT Masuk Pada Prolegda
Selain toilet khusus untuk laki-laki dan perempuan, sekolah tersebut juga menyediakan toilet untuk gender umum (netral).
"Saya datang ke resepsionisnya di situ udah ada WC untuk laki boys, perempuan girls, sama gender netral," papar Daniel.
Karena penasaran, Daniel Mananta bertanya ke seorang guru apa maksud dari adanya toilet gender netral tersebut. Ternyata toilet gender netral ditunjukkan untuk siswa yang tidak merasa nyaman dengan identitas gender mereka.
"Saya tanya sama gurunya, kalian kok apa ya terbuka ya soal ini ya... Gurunya bilang, 'Oh iya karena kita sangat menghormati banget sama murid-murid kita. Justru kita seharusnya membebaskan mereka dengan pilihan mereka. Kita tidak pernah akan bilang apakah pilihan mereka itu benar atau salah, tapi kita akan selalu membebaskan supaya mereka bisa explore feeling mereka lebih jauh lagi. Apapun yang kita bicarakan dengan konselor, tidak akan pernah kita bicarakan dengan orang tua murid'," terang Daniel sambil menirukan cara guru tersebut berucap.
Akhirnya, Daniel Mananta memutuskan untuk tidak mendaftarkan anaknya ke sekolah tersebut dan bahkan memutuskan untuk tidak mengunjungi sekolah itu lagi.