“Kondisi zaman dulu itu berbeda dengan yang sekarang. Kalau kondisi zaman dulu itu Kota Bandung masih dalam pembangunan jadi gak banyak bangunan seramai sekarang. Waktu itu juga dihuni oleh imigran dari luar gak cuma pribumi,” papar Rani.
“Banyak cerita yang berkembang itu di bangunan-bangunan zaman dulu. Konsep dari kegiatan sendirinya itu kita semua ngobrol dan datang sendiri ke tempatnya. Supaya tau lokasinya dimana dan bisa membayangkan. Kalau baca buku kan gak semua orang suka baca buku dan langsung terjun ke tema (sejarah) seperti yang tadi dijelaskan,” sambungnya.
Persiapan, kata dia, membutuhkan waktu satu bulan dengan jumlah 10 panitia. Waktu yang tidak sebentar itu dipenuhi dengan riset mendalam tentang hal yang akan dipaparkan kepada peserta, mulai dari melibatkan narasumber terpercaya bahkan warga sekitar. Tak hanya itu, para anggota Komunitas Aleut juga mencari sumber dari berbagai buku bahkan koran lama untuk membeberkan fakta sejarah.
“Kita juga tidak ingin malah menimbulkan kesan seram kepada teman-teman makanya kita ingin meluruskan apa-apa yang beredar salah. Kita gak bisa bilang itu fakta atau enggak untuk hal-hal yang memang urban legend. Kita mengenalkan sejarahnya saja,” imbuh Rani.
Salah satu peserta kegiatan Urban Legend dari komunitas Aleut, Riski Nugroho Saputro mengatakan bahwa kegiatan ini penting karena peserta bisa mengenal fakta sejarah dengan menyenangkan. “Kita bisa mengenal kebenarannya, tidak hanya berdasar rumor-rumor yang beredar. Kita selalu bertanya-tanya yang benar itu cerita mana, di Komunitas Aleut diceritakan sejarah aslinya, jadi kita bisa tau cerita yang benar,” kata dia.
“Banyak warga Bandung sendiri gak tahu cerita sejarah tentang berbagai lokasi di sini. Anggota Komunitas Aleut ini kita tanya tentang spot di Bandung bisa tahu sejarahnya. Saya harap Komunitas Aleut terus maju dan memberikan fakta sejarah Kota Bandung dengan konsep yang menarik,” tandas Rizki.